26 April 2013

     
                          Foto : www.unisdr.org
      BAB I
                                                                    PENDAHULUAN
             A.    Latar Belakang
Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185).    Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.   Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.

             B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan masyarakat madani?
2.      Bagaimana sejarah pemikiran tentang masyarakat madani?
3.      Apa syarat terbentuknya masyrakat madani?
4.      Seperti apa karakteristik masyarakat madani?
5.      Apa saja yang menjadi pilar penegak terciptanya masyarakat madani?
6.      Bagaimana masyarakat Indonesia bisa menjadi masyarakat yang madani?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan  makalah ini adalah untuk menjelaskan tentang masyarakat madani mulai dengan definisi, sejarah, karakteristik,dan  syarat-syarat terbentuknya, hingga nilai – nilai masyarakat madani dapat terealisasi dalam kehidupan nyata.
D. Manfaat
Manfaat di buatnya makalah ini adalah untuk mengetahui apa makna dari masyarakat madani itu sendiri dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Selain itu, supaya pembaca lebih luas wawasannya dalam suatu ilmu, khususnya mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Masyarakat Madani ( Civil Society )
Sekitar pertengahan abad XVIII dalam tradisi Eropa pengertian dari istilah civil society di anggap sama pengertiannya dengan istilah negara (state) yakni suatu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Akan tetapi pada paruh abad XVIII, terminologi ini mengalami pergeseran makna. State dan civil society dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial (social information) dan perubahan-perubahan struktur politik dan Eropa sebagai pencerahan (enlightenment) dan modernisasi dalam mengahadapi persoalan duniawi. Pendapat ini diungkapkan oleh AS Hikam tahun 1999.[1]
      Selanjutnya, istilah masyarakat madani di Indonesia diperkenalkan oleh Dr. Anwar Ibrahim, ketika menyampaikan ceramah dalam acara Festival istiqlal II tahun 1995 di Jakarta, sebagai terjemahan dari civil society dalam bahasa Inggris, atau al-Mujtama’al-madani dalam bahasa Arab, adalah masyarakat yang bermoral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dan stabilitas masyarakat, dimana masyarakat memiliki daya dorong usaha dan inisiatif individual (Prasetyo, et al. 2002: 157).[2] Adapun yang memaknai civil society identik dengan “masyarakat berbudaya”(civilized society). Lawannya, adalah “ masyarakat liar”(savage society).[3]
Akan tetapi secara global bahwa yang di maksud dengan masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan negara memiliki ruang publik ( publik sphere ) dalam mengemukakan pendapat adanya lembaga-lembaga mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.[4]
      Untuk menciptakan civil society yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrasi diperlukan strategi penguatan kearah pembentukan Negara secara gradual dengan suatu masyarakat politik yang demokratif-partisipatif, reflektif, dan dewasa yang mampu menjadi penyeimbang dan control atas kecenderungan aksesif Negara.[5]
      Yang perlu kita garis bawahi dalam pengertian masyarakat madani ini adalah bahwa masyarakat tersebut mempunyai cita-cita agar rakyatnya aman, nyaman dan sejahtera, serta system yang di gunakan cukup baik karena setiap orang tidak harus menggantungkan dirinya kepada orang lain.
B.     Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani (Civil Society).
Untuk memahami masyarakat madani terlebih dahulu harus di bangun paradigma bahwa konsep masyarakat madani ini bukan merupakan suatu konsep yang final dan sudah jadi, akan tetapi merupakan sebuah wacana yang harus dipahami sebagai sebuah proses. Oleh karena itu, untuk memahaminya haruslah di analisis secara historic.[6]Menurut Manfred, Cohen dan Arato serta M. Dawam Rahardjo, wacana masyarakat madani sudah mengemuka pada masa Aristoteles. Disini ada beberapa fase tentang sejarah pemikiran masyarakat madani.
 Fase pertama,(Aristoteles, 384-322 SM) masyarakat madani di pahami sebagai system kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai pencaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike yang di kemukakan oleh Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yakni seperangkat nilai yang di sepakati tidak hanya dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai subtansi dasar kebijakan (viertue) dari berbagai bentuk interaksi di antara warga negara.
      Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-143 SM) dengan istilah societies civilizes, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Tema yang di kedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep Negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan , kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi masyarakat madani yang aksentuasinya pada system kenegaraan ini dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan John Locke (1632-1704).[7] Pada masa itu civil society dipahami sebagai suatu wilayah yang mencakup masyarakat politik (politica society) dan masyarkat ekonomi (economic society).[8]
Fase kedua. Pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society dengan konteks sosial dan politik di skotlandia. Berbeda pendapat dengan pendahulunya, Ferguson lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial.[9] Pendapat ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi indutri munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Dengan konsepnya ini, Ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit untuk menghalangi munculnya kembali depotisme, karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar warga negara secara alamiah.[10]
Fase ketiga. Pada tahun 1792 Thomas Paine memaknai wacana civil society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai antitesis negara. Bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah saatnya dibatasi. Menurut pandangan ini, negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka. Menurutnya, civil society adalah ruang dimana warga negara dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa paksaan. Sejalan dengan pandangan ini, civil society harus lebih dominan dan sanggup mengontrol negara demi keberlangsungan kebutuhan anggotanya.[11]
Fase keempat. Wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh G. W. F. Hegel (1770-1831 M), Karl Max (1818-1883 M), dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Pandangan mereka, civil society merupakan elemen ideologi kelas dominan. Pemahaman ini adalah reaksi atas pandangan Paine yang memisahkan civil society dari negara. Berbeda dengan pandangan Paine, Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara. Pandangan ini, menurut pakar politik Indonesia Ryaas Rasyid, erat kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat borjuasi eropa yang pertumbuhannya ditandai oleh perjuangan melepaskan diri dari cengkeraman dominasi negara.
Lebih lanjut Hegel menjelaskan bahwa dalam struktur sosial civil society terdapat tiga (3) entitas sosial: keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan. Selanjutnya,  masyarakat sipil merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi. Dan terakhir, negara merupakan representasi dari ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan mempunyai hak penuh untuk melakukan intervensi terhadap civil society.
Berbeda dengan Hegel, Karl Max memandang bahwa civil society dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaan civil society merupakan kendala terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan kelas pemilik modal. Demi terciptanya proses pembebasan manusia, civil society harus dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas.
Antonio Gramsci berbeda pendapat dengan Marx, yaitu ia lebih memandang pada sisi ideologis. Menurut Gramsci, civil society merupakan tempat berebutan posisi hegemoni di luar kekuatan Negara, aparat mengembangkan hegemoni untuk membentuk consensus dalam masyarakat.
Fase kelima. Wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859). Bersumber dari penglamannya mengamati budaya demokrasi Amerika, Tocqueville memandang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. Menurut Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat. Mengaca pada kekhasan budaya demokrasi rakyat Amerika yang bercirikan plural, mandiri, dan kedewasaan berpolitik, menurutnya warga negara di mana pun akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.[12]
Beberapa fase sudah di sebutkan, bahwa setiap fase mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam mengartikan masyarakat madani tersebut. Mulai dari ,(Aristoteles, 384-322 SM) yang memaknai masyarakat madani sebagai system kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai pencaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Dan pada akhirnya pada fase ke lima yang menganggap masyarakat madani sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. Namun fase-fase tersebut pada intinya hampir sama dalam menafsirkan masyarakat madanai yaitu masyarakat yang mandiri yang memiliki hak untuk memaparkan pendapat-pendapatnya di muka umum untuk memenuhi kesejahteraan daerahnya.
C.    Syarat Terbentuknya Masyarakat Madani.
Banyak pendapat tentang pembahasan syarat-syarat terbentuknya masyarakat madani. Elemen dasar terbentuknya masyarakat madani menurut Rasyid dalam Barnadib (2003:63) adalah (1) masyarakat yang memiliki moral dan peradaban yang unggul, menghargai persamaan dan perbedaan (plural), keadilan, musyawarah, demokrasi; (2) masyarakat yang tidak bergantung pada pemerintah pada sector ekonomi;(3) tumbuhnya intelektualis yang memiliki komitmen independent; dan (4) bergesernya budaya paternalistic menjadi budaya yang lebih modern dan lebih independent.
Barnadib (2003:67-68) juga mengemukakan adanya empat syarat terbentuknya masyarakat madani, yakni: (1) pemahaman yang sama (one standart), artinya diperlukan pemahaman bersama di kalangan masyarakat tentang apa dan bagaimana masyarakat madani;(2) keyakinan (confidence) dan saling percaya (social trust), artinya perlu ditumbuhkan dan dikondisikan keyakinan di masyarakat, bahwa madani adalah merupakan masyarakat yang ideal;(3)  satu hati dan saling tergantung, artinya kondisi kesepakatan, satu hati dan kebersamaan dalam menentukan arah kehidupan yang dicita-citakan dan (4) kesamaan pandangan tentang tujuan dan misi.[13]
            Syarat-syarat di atas sangatlah berperan penting dalam kaitannya pembentukan masyarakat madani. Karenanya semua syarat tersebut harus ada ketika suatu kelompok menginginkan masyaraktnya dikatakan masyarakat yang madani.
D.    Karakteristik Masyarakat Madani
Penyebutan karakteristik civil society dimaksudkan untuk menjelaskan, bahwa dalam merealisir wacana civil society diperlukan prasyarat yang bersifat universal. Prasyarat ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, melainkan satu kesatuan integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi civil society. Karakteristik tersebut antara lain adalah free public sphere, demokrasi, toleransi, pluralism, keadilan,sosial (social justice) dan berkeadaban.[14]
1.      Free Public Sphere (wilayah publik yang bebas).
Yang di maksud dengan istilah “ free public sphere” adalah adanya ruang public yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang public yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Aksentuasi prasyarat ini dikemukakakan oleh Arendt dan Habermas.[15] Warga Negara dalam wacana free public sphere memiliki hak penuh dalam setiap kegiatan politik. Warga Negara berhak melakukan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta menerbitkan dan mempublikasikan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
                        Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan civil society dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free public sphere menjadi salah bagian yang harus di perhatikan. Karena dengan mengesampingkan ruang public yang bebas dalam tatana civil society, akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya.[16]
2.      Demokrasi.
Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society yang murni (genuine). Tanpa demokrasi, masyarakat sipil tidak mungkin terwujud. Secara umum demokrasi adalah suatu tatanan social politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga negara.[17]Penekanan demokrasi (demokratis) disini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, social, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.[18]
3.      Toleransi.
Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat. Lebih dari sikap menghargai pandangan berbeda orang lain, toleransi, mengacu kepada pandangan Nurcholish Majid, adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang menyenangkan antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari pelaksanaan ajaran yang benar. Senada dengan Majdid, Azra menyatakan untuk menciptakan kehidupan yang bermoral, masyararakat madani menghajatkan sikap-sikap toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima beragam perbedaan pandangan politik di kalangan warga bangsa.
4.      Pluralisme.
Kemajemukan atau pluralism merupakan prasyarat lain bagi civil society. Namun, prasyarat ini harus benar-benar di tanggapi dengan tulus ikhlas dari kenyataan yang ada, karena mungkin dengan adanya perbedaan wawasan akan semakin bertambah. Kemajemukan dalam pandangan Majdid erat kaitannya dengan sikap penuh pengertian (toleran) kepada orang lain, yang nyata-nyata diperlukan dalam masyarakat yang majemuk. Secara teologis, tegas Majdid, kemajemukan social merupakan dekrit Allah untuk umat manusia.[19]
5.      Keadilan Sosial.
Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara dalam semua aspek kehidupan.
 Dengan terciptanya keadilan sosial, akan tercipta masyarakat yang sejahtera seperti nilai yang terkandung dalam pengertian masyarakat madani. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang di tetapkan oleh pemerintah (penguasa).
Sangatlah bagus beberapa karakteristik masyarakat madni di atas, mulai dari free public spere, demokrasi, toleransi, plurasime, dan keadilan social. Bahwa masyarakat tersebut selain bebas mengemukakan pendapat juga mempunyai rasa toleran terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Selain itu juga, mempunyai jiwa keadilan terhadap orang-orang di sekitar, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
E.     Pilar Penegak Masyarakat Madani.
Yang di maksud disini adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Ada lima pilar penegak masyarakat madani:[20]
1.      Lembaga Swadaya Masyarakat, tugas dari institusi social ini adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas. Selain itu LSM juga mengadakan pelatihan-pelatihan dan sosialisasi program-program pembangunan masyarakat.
2.      Pers, institusi ini sangat penting dalam kaitannya penegakan masyarakat madani karena dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga negara.
3.      Supermasi Hukum, dalam hal ini semua warga negara harus taat terhadap peraturan hukum yang sudah ditetapkan. Hal tersebut untuk mewujudkan masyarakat yang damai dalam memperjuangkan hak dan kebebasan antar warga negara.
4.      Perguruan Tinggi, yang mana dosen dan mahasiswa merupakan bagian dari kekuatan social dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan dalam mengkritisinya tersebut tidak melanggar peraturan hokum yang ada. Disisi lain perguruan tinggi juga bisa mencari solusi-solusi dari permaslahan yang ada di masyarakat
5.      Partai Politik, partai politik merupakan wahana bagi warga Negara untuk dapat menyalurkan asipirasi politiknya dan tempat ekspresi politik warga Negara, maka partai politik ini menjadi persyaratan bagi tegaknya masyarakat madani.
Dari point satu sampai lima sungguh sangatlah berperan penting dalam menegakkan masyarakat madani itu sendiri, karena ketika masyarakat merasa tidak puas atas kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh  pemerintah, pilar-pilar penegak tersebut bisa di gunakan untuk mewakili masyarakat madani yang dapat menyuarakan semua ansipari-anspirasi dari masyarakat yang menjadi uneg-uneg atas ketidakpuasannya terhadap pemerintah.
F.     Masyarakat Madani Indonesia.
Gerakan untuk membentuk masyarakat madani berkaitan dengan proses demokratisasi yang sedang melanda dunia dewasa ini. Sudah tentu perwujudan kehidupan yang demokratis untuk setiap bangsa mempunyai ciri-ciri tertentu di samping ciri-ciri universal. Salah satu cirri dari bermasyarakat Indonesia ialah kebhinekaan dari bangsa Indonesia.
Masyarakat dan budaya Indonesia yang bhinneka.
Menurut pendapat Lombard, Indonesia berada dalam persimpangan pengaruh budaya internasional. Oleh sebab itu, di Indonesia bukanlah hanya terdapat berbagai suku, akan tetapi budaya pun bermacam-macam akibat Negara-negara lain yang pernah masuk ke Indonesia selama berabad-abad. Dengan adanya masyarakat Indonesia yang demokratis justru akan memperoleh dasar perkembangan yang sangat relevan dengan adanya kebhinekaan masyarakat Indonesia. Kehidupan demokrasi sebagai ciri utama masyarakat madani akan mendapat persemaian yang yang sempurna dalam corak kebhinekaan masyarakat dan budaya Indonesia.
Beberapa ciri pokok masyarakat madani Indonesia.
Sebenarnya ide masyarakat madani sudah dikembangkan mulai zaman Yunani klasik seperti ahli piker Cicero. Di dalam kaitan ini Hikam misalnya mengambil pemikiran Alexis Tocqueville mengenai ciri-ciri masyarakat madani. Dengan pendekatan elektrik, Hikam merumuskan empat ciri utama dari masyarakat madani yaitu:
1.      Kesukarelaan. Artinya masyarakat madani bukanlah merupakan suatu masyarakat paksaan atau karena indoktrinasi. Kenggotaan masyarakat madani adalah kenggotan pribadi yang bebas, dan mempunyai cita-cita yang di wujudkan bersama.
2.      Keswasembadaan. Setiap orang mempunyai harga diri yang tinggi, tidaklah setiap anggota masyarakat madani selalu menggantungkan kehidupannya kepada orang lain. Namun, justru membantu orang lain yang sekiranya membutuhkan pertolongan.
3.      Kemandirian tinggi terhadap Negara. Bagi mereka (anggota masyarakat madani) Negara adalah kesepakatan bersama sehingga tanggung jawab yang lahir dari kesepakatan tersebut adalah juga tuntutan dan tanggung jawab dari masing-masing anggota. Inilah Negara yang berkedaulatan rakyat.
4.      Keterkaitan pada nilai-nilai hokum yang disepakati bersama. Hal ini berarti suatu masyarakat madani adalah  suatu masyarakat yang berdasarkan hokum dan bukan Negara kekuasaan.
Di atas merupakan ciri-ciri masyarakat madani yang di ungkapkan oleh Hikam dengan pendekatan eklektik. Dan beliau melampiaskan ciri-ciri tersebut ke Negara Indonesia.[21]
Selain itu, cirri-ciri di atas juga bisa menjadi gambaran seperti apakah sebenarnya masyarakat madani itu. Dan agar orang-orang tidak salah persepsi dalam memandang masyarakat madani itu sendiri.
G.    Civil Society sebagai Indikator Keberhasilan Pembangunan.
Di indonesia pada hakikatnya proses pembangunan masih sarat oleh prakarsa pemerintah dan aparatnya baik dari segi perencanaan maupun pelaksanannya, walaupun pemerintah indonesia secara formal mengatakan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan unsur yang paling penting dalam menciptakan keberhasilan pembangunan Indonesia.
Sebagai pembuktiannya, pmerintah mendirikan organisasi - organisasi seperti LKMD, PKK, HKTI di tingkat kecamatan dan  partai politik di tingkat nasional.
Hambatan- hambatan organisasi tersebut untuk mendukung terciptanya masyarakat madani yaitu :
a)      Organisasi tersebut bukan organisasi yang bersifat otonom. Program, dana dan pengurus terdiri dari pejabat atau mantan pejabat pemerintahan. Masyarakat memandangnya baik-aik saja, akan tetapi oknum-oknum tertentu ada yang bisa menghambat jalannya suatu proses pembangunan.
b)      Lemahnya partai politik dan pers indonesia.
c)      Akibat absennya civil society dalam proses pembangunan indonesia walaupun hampir meninggalkan era pembangunan 25 tahun tahap pertama pembagunan indonesia belum mampu menciptakan kehidupan soisal budaya politik modern bagi bangsa indonesia yang mampu menjadi dasar bagi pembangunan manusi indonesia sutuhnya.[22]
     Sehubungan dengan adanya hambatan – hambatan tersebut, mengakibatkan tatanan masyarakat yang madani secara utuh belum bias tercapai di Indonesia. Selain itu, masih ada factor lain diantaranya korupsi yang kian merakyat dan membudaya, kolusi yang menelurkan pejabat – pejabat yang kurang bertanggung jawab serta nepotisme yang menjadikan persaingan kehidupan yang tidak sehat dan penuh kecurangan. Jauh dari tolok ukur sebagai masyarakat yang madani.

BAB III
PENUTUP
      A.    Kesimpulan
            Dapat kita pahami bahwa makna dari civil society itu adalah suatu  masyarakat yang begitu partisipasi atas system demokrasi dan menjunjung tinggi hak asasi orang lain. Hal tersebut sesuatu yang baik, yang apabila suatu parlemen (pemerintahan) belum bisa, bahkan tidak bias menegakan system demokrasi dan  hak asai manusia.. Di sinilah kemudian civil society menjadi alternatif pemecahan dengan pemberdayaan dan pnguatan daya kontrol masyarakat terhadap kebijakan – kebijakan pemerintah yang pada akhirnya terwujud kekuatan masyarakat sipil yang mampu merealisasikan konsep hidup yang demokrasi dan menghargai hak asaai manusia.      Terjaminnya mutu perekonomian, lengkapnya fasilitas dunia pendidikan, terbukanya masyarakat dalam memberikan suatu kritikan terhadap pemerintah dan bertaqwa kepada Sang  Kholiq, merupakan faktor – faktor yang dapat membangun masyarakat madani di Indonesia.





DAFTAR PUSTAKA

M.Hum, Mahrus, dkk, Pancasila dan  Kewarganegaraan, Yogyakarta: Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2005.
Rosyada, Dede, dkk, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media,2003
Soetrisno, Loekman, Menuju Masyarakat Partisipatif, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Suryadi Culla, Adi, Masyarakat Madani: pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999.
Tim Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah,Bandung: ALFABETA, 2009.
Tilaar, H. A. R. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2002.  
Ubaedillah, dkk, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media,2008.





foto : http://lipsus.kompas.com/
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
      Dalam kegiatan sehari – hari baik secara disadari atau tidak kita pasti mengalami sebuah kegiatan yaitu belajar. Belajar secara teori maupun praktek dari lingkungan sekitar. Belajar mengerti arti kehidupan dan belajar menjadi semakin baik. Anak – anak kecil pun belajar bagaimana cara mereka berjalan dan berkomunikasi dengan baik. Sebagai calon pendidik kita juga dituntut untuk mengetahui tentang arti penting belajar. Karena belajar merupakan masalah yang pasti dihadapi setiap orang. Oleh karena itu di sini kita akan mengupas lebih dalam tentang arti dari kata belajar itu sendiri. Yang diharapkan nantinya akan berguna bagi kita para calon pendidik untuk lebih memahami kegiatan beajar mengajar ini dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari bagi peserta didik kita.
B.  Rumusan Masalah
1.    Apa definisi belajar ?
2.    Apa saja faktor – faktor yang mempengaruhi proses belajar ?
3.    Bagaimana proses belajar itu berlangsung ?
4.    Apa saja teori – teori tentang belajar ?
5.    Bagaimana cara belajar yang baik dan hasil belajar yang lebih efisien ?
C.  Tujuan Penulisan
1.    Mengerti berbagai definisi tentang belajar .
2.    Mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi proses belajar .
3.    Mengerti cara – cara keberlangsungan proses belajar terjadi .
4.    Mengetahui konsepsi dan macam – macam teori tentang belajar .
5.    Mengerti cara belajar yang baik dan efisien sehingga hasil belajar menjdi maksimal .
D.    Manfaat Penulisan
1.    Sebagai tambahan khasanah keilmuwan yang kita punya khususnya dalam bidang ilmu psikologi.
2.    Sebagai bahan acuan untuk semakin meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia .

















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Definisi Belajar .
Banyak ahli yang telah mendefinisikan apa itu belajar . Di antaranya adalah definisi yang diungkapkan oleh :[1]
1.      Hilgard dan Bower , bukunya Theories of Learning ( 1975 ) mengemukakan . “Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang – ulang dalam situasi itu , di mana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan , kematangan , atau keadaan – keadaan sesaat seseorang ( misalnya kelelahan , pengaruh obat dan sebagainya ) .”
2.      Gagne , dalam bukunya The Conditions of Learning ( 1977 ) menyatakan bahwa : “Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya ( performance – nya ) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi .”
3.      Morgan , dalam bukunya Introduction to Psykology ( 1978 ) mengemukakan : “Belajar adalah setiap perubahan yang relatif rmenetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman .”
4.      Witherington , dalam buku Educational Psykology mengemukakan “Belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan , sikap , kebiasaan , kepandaian atau suatu pengertian .”

Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa :[2]
1.      Belajar itu membawa perubahan baik aktual maupun potensial .
2.      Perubahan itu didapatkan dari kecakapan baru .
3.      Perubahan itu terjadi karena usaha ( dengan sengaja ) .
B.       Faktor – faktor  yang mempengaruhi proses belajar .
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari proses belajar .[3]
1.      Faktor dari luar
a.       Lingkungan
1.      Alam : keadaan udara , suhu udara , cuaca
2.      Sosial : Suasana gaduh , nyanyian
b.      Instrumental
1.      Kurikulum / bahan pelajaran
2.      Guru / pengajar
3.      Sarana dan Fasilitas
4.      Administrasi / Manajemen
2.      Faktor dari dalam
a.       Fisiologi
1.      Kondisi Fisik : nutrisi yang cukup dimiliki seseorang , kebugaran jasmani
2.      Kondisi Panca indera : dilakukan penjagaan dengan cara pemeriksaan dokter secara periodik , penyediaan alat yang memenuhi persyaratan
b.      Psikologi
1.      Bakat
2.      Minat
3.      Kecerdasan
4.      Motivasi
5.      Kemampuan kognitif

C.       Cara – cara proses belajar berlangsung .
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam proses pembelajaran tentu mempunyai urutan langkah – langkah demi memperlancar dan mempermudah proses belajar sesuai dengan perkembangan anak . Langkah – langkah tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :
1.      Belajar dan kematangan
Kematangan adalah suatu proses pertumbuhan organ – organ yang mana telah mencapai kesanggupan untuk menjalankan fungsinya masing – masing dan ini terjadi dari rangsangan dalam diri manusia secara sendirinya . Sedangkan belajar membutuhkan kegiatan yang kita sadari yang ini terjadi karena rangsangan dari luar .[4] Sehingga
2.      Belajar dan penyesuaian diri
Dalam hal ini terdapat dua macam penyesuaian diri yaitu :
a.       Penyesuaian diri autoplastis , seseorang mengubah dirinya disesuaikan dengan keadaan lingkungan / dunia luar .
b.      Penyesuaian diri alloplastis , mengubah lingkungan atau dunia luar disesuaikan dengan kebutuhan dirinya .[5]
Dari dua jenis penyesuaian ini sangat berhubungan erat dengan belajar karena belajar memerlukan proses penyesuaian dan dalam penyesuaian juga dibutuhkan sebuah latihan – latihan yang eratkaitannya dengan proses belajar . Jadi , sama artinya dengan adanya simbiosis mutualisme antar keduanya .
3.      Belajar dan pengalaman
Mengalami sesuatu belum tentu merupakan belajar tapi tiap – tiap kegiatan  dari belajar berarti juga mengalami . Contoh kegiatan yang bukan belajar adalah mengalami sesuatu yang menyedihkan dapat menimbulkan apatis dan kesedihan .[6] Jadi , ketika kita belajar sesuatu itu merupakan pengalaman yang sedang kita dapat dapatkan . Namun ketika kita mengalami sesuatu belum tentu itu merupakan sebuah proses belajar . Di sini dapat diambil kesimpulan bahwa dalam proses belajar tentu akan ada sebuah pengalaman . Yang pengalaman – pengalaman itu apabila dimanfaatkan dengan baik akan memberikan efek positif pada proses belajar .
4.      Belajar dan bermain
Bermain dan belajar memiliki kesamaan yaitu sama – sama merubah tingkah laku dari seseorang . Antara keduanya terdapat pula perbedaan , menurut sifatnya yaitu jika bermain hanya untuk kepuasan sesaat sedangkan belajar mempunyai tujuan untuk masa depan .[7]
5.      Belajar dan pengertian
Dalam proses belajar saat ini kebanyakan dari kita mengira bahwa jika kita mengerti tentang sesuatu pasti kita akan berhasil dalam proses belajar padahal belum tentu seperti itu .
Contohnya saja yang terjadi pada kucing ketika dia latihan menangkap mangsa , awalnya dia tidak tau hal apa yang dia lakukan dan untuk tujuan apa . Dia hanya selalu melakukan hal itu secara terus menerus . Dan dia akan mengerti ketika dia semakin tumbuh besar .[8]
6.      Belajar dan menghafal
Menghafal dan mengingat ternyata bukan merupakan suatu proses menghafal hal ini dikarenakan dalam menghafal dan mengingat saja tanpa kita mengerti apa maksud dan tujuan dari menghafal tersebut maka kita akan mudah lupa dan tidak tau manfaat apa yang akan kita dapat nantinya setelah kita hafal akan sesuatu tersebut . Karena dari suatu proses belajar pula akan menimbulkan perubahan tingkah laku sehingga apabila kegiatan menghafal dan mengingat itu tidak memberikan efek perubahan maka tidak disebut sebagai kegiatan belajar .
7.      Belajar dan latihan
Persamaan dari dua hal ini adalah sama – sama dapat merubah tingkah laku seseorang namun dalam hal belajar belum tentu semuanya perlu latihan , misalnya anak yang menyentuh api akan merasa panas dan sejak itu dia tau bahwa api itu panas hal ini tidak perlu latihan untuk keberhasilan proses belajar hanya perlu pengertian saja .[9]
Sedangkan menurut para pakar ada beberapa tahapan dalam proses belajar .
1.      Menurut Jerome S . Bruner[10]
Ada 3 tahapan
1.      Tahap informasi ( tahap penerimaan materi )
2.      Tahap transformasi ( tahap pengubahan materi )
3.      Tahap evaluasi ( tahap penilaian materi )
2.      Menurut Arno F . Wittig[11]
Dalam bukunya psychology of learning , menyebutkan ada 3 tahapan dalam proses belajar yaitu :
1.      Acquisition ( tahap perolehan / penerimaan informasi )
2.      Storage ( tahap penyimpanan informasi )
3.      Retrieval ( tahap mendapatkan kembali informasi )
3.      Menurut Albert Bandura[12]
Menurutnya ada 4 tahapan dalam belajar
1.      Tahap perhatian ( attentional phase )
2.      Tahap penyimpanan dalam ingatan ( retention phase )
3.      Tahap reproduksi ( reproduction phase )
4.      Tahap motivasi ( motivation phase )
D.      Teori – teori tentang belajar .
1.      Connectionism ( Koneksinisme )
Teori ini ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike berdasarkan eksperimen yang dilakukan tahun 1980 – an . Melalui Eksperimen ini dapat disimpulkan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon . Di sini ditemukan pula adanya 3 hukum yang berlaku dalam proses belajar yaitu law of effect , law of readiness dan law of exercise .[13]
2.      Classical Conditioning ( Pembiasaan klasik )
Teori ini berkembang berdasarkan hasil ekspesimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov ( 1849 – 1936 ) seorang ilmuwan besar Rusia yang mendapatkan Nobel tahun 1909 . Pada dasarnya teori ini merupakan sebuah prosedur penciptaan reflek baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya reflek . Hasil dari percobaan ini dapat diambil 2 kesimpulan hukum yaitu law of respondent conditioning dan law of respondent extinction .[14]
3.      Operant Conditioning ( Pembiasaan Perilaku Respon )
Teori ini diciptakan oleh Burrhus Frederic Skinner ( lahir tahun 1904 ) seorang penganut behaviorisme yang dianggap kontroversi . Respon dalam Operant Conditioning ini terjadi tanpa didahului stimulus melainkan ditimbulkan oleh efek reinforcer , merupakan stimulus namun kehadirannya tidak disengaja .Di sini menghasilkan 2 hukum yaitu law of operant conditioning dan law of operant extinction .[15]
4.      Contigous Conditioning ( Pembiasaan Asosiasi Dekat )
Teori ini mengasumsikan terjadinya peristiwa belajar berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus dan respons yang relevan . Hanya terdapat satu prinsip di dalamnya yaitu kontiguitas yang berarti kedekatan antara stimulus dan respons . Dalam teori ini menjelaskan bahwa peristiwa belajar hanya terjadi sekali bahkan bisa tidak sama sekali dalam seumur hidup . Jadi dalam teori ini semua bersifat mekanis dan otomatis .[16]
5.      Cognitive Theory ( Teori Kognitif )
Teori ini adalah bagian terpenting dari sains kognitif yang memberi kontribusi sangat berarti dalam perkembangan psikologi belajar . Di sini belajar pada asasnya adalah peristiwa mental bukan bersifat jasmaniah meskipun behavioral tampak lebih nyata dalam hamir setiap peristiwa belajar siswa . Menurut teori ini perilaku belajar bukan sekedar peristiwa ikatan antara stimulus dan respons melainkan lebih banyak melibatkan proses kognitif .[17]
6.      Social Learning Theory ( Teori Belajar Sosial )
Tokoh utama teori ini adalah Albert Bandura , menurutnya tingkah laku manusia bukan sekedar reflek otomatis antara stimulus melainkan akibat reaksi yang timbul dari hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri . Dalam teori ini menekankan pada belajar sosial dan moral . Pendekatannya pada pembiasaan merespon atau conditioning dan peniruan atau imitation . Conditioning mengenal adanya dua hal yaitu reward dan punishment , serta dalam imitation diharapkan guu dan orang tua memainkan peran menjadi contoh perilaku sosial dan moral .[18]
E.       Cara belajar yang baik dan efisien .
Menurut Rudolf Partner ada sepuluh metode dalam belajar yaitu :[19]
1.      Metode keseluruhan kepada bagian
Mempelajari keseluruhan baru mendetail pada bagian – bagiannya . Contohnya dalam memepelajari sebuah buku harus tau dulu urutan bab dan subbabnya baru mengarah pada bab tertentu yang sesuai dengan apa yang akan kita pelajari .
2.      Metode keseluruhan lawan bagian
Metode ini digunakan untuk bahan yang bersifat nonverbal seperti mengetik dan menulis serta digunakan untuk pelajaran yang skopnya tidak terlalu luas seperti menghafal syair .
3.      Metode campuran
Digunakan untuk bahan yang skopnya terlalu luas seperti tata buku , akunting .
4.      Metode resitasi
Merupakan metode pengulangan , metode ini dapat dilakukan bagi bahan verbal maupun nonverbal dengan cara pengerjakan soal – soal .
5.      Jangka waktu belajar
Dari eksperimen ternyata periode belajar yang produktif seperti mengetik dan mengerjakan soal hitungan adalah jangka waktu 20 – 30 menit . Sementara waktu lebih dari 30 menit digunakan untuk belajar sesuatu yang memerlukan perhatian . Namun jangka ini bisa menjadi lebih panjang ketika seseorang minat untuk mempejari sesuatu .
6.      Pembagian waktu belajar
Dari berbagai percobaan , belajar secara terus menerus dalam jangka waktu lama tanpa istirahat akan tidak efisien dan efektif . Dalam hal ini hukum Josh diakui kebenarannya yaitu belajar selama 30 menit 2x sehari selama 6 hari lebih baik daripada belajar 6 jam tanpa berhenti .
7.      Membatasi kelupaan
Kelupaan bisa diatasi dengan selalu mengulang pelajaran yang telah kita pelajari .
8.      Menghafal
Metode ini praktis untuk dapat mengusai bahan – bahan yang luas dalam waktu yang singkat seperti untuk menghadapi ujian namun metode ini sebenarnya kurang baik karena akan mudah terlupakan setelah ujian selesai .


9.      Kecepatan belajar dalam hubungannya dengan ingatan
Hasil eksperimen yang pernah dilakukan tidak mempunyai cukup bukti untuk menolak atau membenarkan hal ini namun untuk bahan pelajaran yang kurang mempunyai arti metode inii dapat digunakan .
10.  Retroaktif inhibition
Retroaktif inhibition merupakan pengetahuan yang ada dalam diri kita seolah – olah merupakan unit yang selalu berkaitan satu sama lain sehingga sering pula satu mendesak yang lain . Sehingga dalam hal ini untuk menghindarinya disarankan untuk tidak mempelajari berbagai mata pelajaran dalamsatu waktu sehingga diperlukan jadwal yang  pasti .
Menurut Crow and Crow untuk mendapat hasil belajar yang efisien dibutuhkan hal – hal sebagai berikut :[20]
1.      Miliki dahulu tujuan belajar yang pasti
2.      Usahakan adanya tempat belajar yang memadai
3.      Jaga kondisi fisik jangan sampai mengganggu konsentrasi dan keaktifan mental
4.      Rencanakan dan ikutilah jadwal waktu untuk belajar
5.      Selingilah belajar dengan waktu – waktu istirahat yang teratur
6.      Carilah kalimat topik atau inti pengertian dari tiap paragraf
7.      Gunakan metode pengulangan dalam hati
8.      Lakukan metode keseluruhan bila mungkin yaitu membaca buku yang berhubungan dengan materi yang sedang dipelajari
9.      Usahakan membaca cepat dan cermat
10.  Buat catatan dan rangkuman yang tersusun rapi
11.  Adakan penilaian kesulitan bahan untuk dipelajari lebih lanjut
12.  Susun dan buat pertanyaan yang tepat llu coba cari jawabannya
13.  Pusatkan perhatian dengan sungguh – sungguh waktu belajar
14.  Pelajari dengan teliti tabel – tabel , grafik – grafik dan bahan ilustrasi lainnya
15.  Biasakan buat rangkuman dan kesimpulan
16.  Buat kepastian untuk melengkapi tugas – tugas belajar itu
17.  Pelajari baik – baik pernyataan yang dibuat oleh pengarang suatu buku sumber
18.  Teliti pendapat beberapa pengarang jika diperlukan
19.  Belajarlah menggunakan kamus dengan sebaik – baiknya
20.   Analisislah kebiasaan belajar yang dilakukan dan cobalah untuk memperbaiki kelemahan - kelemahannya



















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Belajar merupakan sebuah proses yang mampu merubah tingkah laku seseorang yang memerlukan sebuah proses secara terus menerus . Dalam hal ini banyak sekali faktor – faktor yang mempengaruhi proses belajar sehingga diperlukan banyak latihan dan konsentrasi . Kita juga perlu mengetahui berbagai teori – teori tentang belajar sehingga menambah wawasan kita bagaimana cara belajar yang mampu membantu kita mendapatkan hasil yang maksimal. Yang sangat diharapkan setelah kita belajar tidaklah hanya menguasai teorinya saja, tetapi bisa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari yang dapat membuat kehidupan kita lebih baik.
















DAFTAR PUSTAKA

Suryabrata Sumadi . Psikology Pendidikan . Jakarta : Raja Grafindo Persada . 2004
Purwanto Ngalim . Psikology Pendidikan . Bandung : Remaja Rosdakarya . 2007
Syah Muhibbin . Psikologi Pelajar . Jakarta : Raja Grafindo Persada . 2003


[1] M. Ngalim Purwanto , Psikology Pendidikan , ( Bandung : Rosdakarya , 2007 ) , hal . 84

[2] Sumadi Suryabrata , Psikology Pendidikan , ( Jakarta : Raja Grafindo Persada , 2004 ) , hal . 232
[3] M. Ngalim Purwanto , Psikology Pendidikan , ( Bandung : Rosdakarya , 2007 ) , hal . 107

[4] M. Ngalim Purwanto , Psikology Pendidikan , ( Bandung : Rosdakarya , 2007 ) , hal . 86

[5] M. Ngalim Purwanto , Psikology Pendidikan , ( Bandung : Rosdakarya , 2007 ) , hal . 87
[6] Ibid , hal . 87
[7] Ibid , hal . 87
[8] M. Ngalim Purwanto , Psikology Pendidikan , ( Bandung : Rosdakarya , 2007 ) , hal . 88
[9] Ibid , hal . 89
[10]Muhibbin Syah , Psikologi Belajar , ( Jakarta : Raja Grafindo Persada , 2003 ) , hal . 110
[11] Ibid , hal . 111
[12] Ibid , hal . 112
[13]Muhibbin Syah , Psikologi Belajar , ( Jakarta : Raja Grafindo Persada , 2003 ) , hal . 94
[14] Ibid , hal . 97
[15] Ibid , hal . 98,100
[16] Ibid , hal .101,102
[17] Muhibbin Syah , Psikologi Belajar , ( Jakarta : Raja Grafindo Persada , 2003 ) , hal .103 ,105
[18] Ibid , hal . 106-108
[19] M. Ngalim Purwanto , Psikology Pendidikan , ( Bandung : Rosdakarya , 2007 ) hal . 113 - 116
[20]M. Ngalim Purwanto , Psikology Pendidikan , ( Bandung : Rosdakarya , 2007 ) ,  hal . 120 - 121